Aku telah memahami Jakarta sejak umurku 18 demi studiku, aku rela bolak-balik. Dari kota asalku Bekasi, kota perbatasan Jawa Barat dan ibukota Jakarta. Aku sebagai anak rumahan kala itu harus berpergian lima hari dalam seminggu antara Bekasi-Jakarta. Capek, tapi demi pertanggungjawabanku.
Berangkat setelah shubuh karena ada mata kuliah jam 7 pagi dan menunggu bis di tempat yang jauh demi mendapatkan duduk. Pulang saat matahari terbenam dengan kemacetan, terkadang lewat dari itu. Jakarta sulit ditebak, tapi aku selalu memahaminya.
Sambil duduk di bis, aku menikmati jalanan Jakarta. Melihat pemandangan jalanan dari jendela dan mendengarkan nyanyian para pengamen jalanan bahkan orang yang berpuisi. Membuatku merasa beruntung, kondisiku lebih enak daripada mereka. Masa aku yang bolak-balik Bekasi-Jakarta untuk kuliah masih mengeluh, masih untung daripada aku dipaksa kerja dengan pengalaman nol.
Gedung-gedung yang kulihat dari jendela bis mengagumkan. Tinggi dan megah. Pasti banyak pekerjanya. Suatu hari kelak aku akan bekerja di salah satu gedung tersebut. Aku akan jadi sarjana, pasti perusahaan atau instansi akan membutuhkanku. Gumamku kala itu, si mahasiswi yang sedang bermimpi menaklukkan Jakarta.
Semenjak itu, aku menaruh harapan besarku pada Jakarta. Sebenarnya sudah sejak pendaftaran kuliahku, pada dosen, kampus, Jakarta, dan lebih-lebih pada diri sendiri. Mungkin itu semua yang orang tuaku harapkan, semoga anaknya kelak berhasil di Jakarta terutama untuk studinya dulu.
Setelah empat tahun itu aku lulus juga. Aku tak mau berlama-lama nganggur, aku segera mencari kerja. Alhamdulillah kurang lebih sebulan aku diterima kerja di kampusku sebagai mahasiswa kerja kontrak. Bolak-balik lagi Bekasi-Jakarta. Oke, aku siap. Aku harus mencintai pekerjaanku.
Jakarta tak bisa ditebak, peraturan daerah bisa saja berubah. Penghapusan 3 in 1 kala itu membuat macet menjadi semrawut. Aku nyerah, aku nggak mau lagi kerja di kampusku lagi. Sebenarnya aku sudah nyaman tapi ada sesuatu hal yang membuatku bertekad bulat untuk resign. Selama 9 bulan aku bekerja untuk pertama kalinya. Bye Jakarta, aku akan merindukanmu.
Kemudian, selama setahun aku bekerja dekat rumah sebagai guru. Lumayan untuk istirahat dari kemacetan Jakarta. Aku juga ingin melihat kemampuanku dalam mengajar, sebenarnya aku kurang tertarik dan tak ingin menggelutinya. Maka setahun kemudian aku resign lagi. Cukup menjadi pengalaman berharga buatku.
Menganggur memang tak enak, apalagi aku sudah biasa bekerja. Aku harus dapat pekerjaan baru. Balik lagi kerja di Jakarta aku siap. Karena aku tau di Bekasi jarang ada tempat kerja yang kuinginkan. Aku memang anaknya macem-macem, harus pekerjaan yang aku suka. Aku tak mau resign dari pekerjaan untuk yang ketiga kalinya. Aku harus menjadi pekerja yang awet, betah, dan profesional kata orang tuaku. Oke semoga aku amanah.
Hello Jakarta, kataku pada saat interview di salah satu kantor perusahaan di Jakarta. Semoga kita bisa bekerjasama ya. Tapi hasilnya tidak. Mungkin di tempat lain aku bisa ya kan? Belum rejekiku. Pasti ada secuil meja kerja untukku, secuil pekerjaan untukku, dan secuil amanah untukku. Aamiin.
Dan Jakarta mengijinkan aku untuk menaruh harapan. Telah 6 bulan kumenanti dan menikmati masa mengaggurku. Hai Jakarta, baik-baik ya denganku. Jangan buatku berubah pikiran dan resign, buatlah aku betah, buatlah aku menikmati kerasnya kotamu, buatlah aku terus berjuang menaklukanmu, dan semoga aku salah satu pekerja yang beruntung di Jakarta. Aku pun rela naik KRL commuter Line Bekasi-Jakarta yang selalu berdesakan demi mendatangimu seminggu 5 kali dan tempat kerjaku bukan gedung yang tinggi. Terima kasih mau menerimaku lagi, Jakarta :)
Comments
Post a Comment