Benda yang selalu terpampang di toko buku membuatku merengek mendatanginya setiap ke mall waktuku kecil. Benda yang kuharapkan dapat kubeli pulang berkat hasil rengekanku itu seolah tak sudi bila kubawa pulang. Aku tak berhasil membawanya, rengekanku tak sempurna kala itu. Itu akhir bulan, uang orang tuaku tak mendukung membelinya. Kata orang tuaku, lain kali datang kesini untuk membelinya. Buku cerita tentang hewan yang mencuri hatiku, si gadis anak pertama yang dicekoki buku.
Buku temanku sejak kecil, aku gemar sekali membaca. Sejak umur 5 tahun aku sudah bisa membaca meski tulisanku belum rapi. Ini merupakan prestasi bagi orang tuaku, anak pertamanya sudah pandai membaca. Mulailah aku dicekoki buku dan majalah anak untuk kulahap, kucerna, dan kunikmati kata demi katanya. Apalagi gambar yang berwarna-warni membuatku semakin bersemangat menghabiskan isi buku itu. Aku merasa happy walau buku dan majalah yang kudapatkan adalah buku dan majalah bekas. Mamaku sering mengajakku ke pasar tempat buku dan majalah bekas, menurut mamaku karena disana dijual lebih murah daripada yang baru. Aku merasa kurang tertarik tapi tetap saja aku membacanya.
Oia buku yang kudapatkan juga dapat dari sekolah tempat bapakku mengajar, kadang juga dapat majalah kuncung. Ada yang masih ingat majalah kuncung? Bagiku majalah kuncung majalah yang mendidik, isinya pas untuk anak sekolah kala itu. Itulah kehidupanku ketika SD dekat dengan buku. Lain lagi ketika SMP, aku diperkenalkan dengan berbagai macam buku salah satunya buku yang isinya hanya tulisan tanpa gambar. Buku cerita seperti novel dan cerpen yang bergambar hanya cover saja, dilihatnya sudah bosan. Tapi setelah melahap buku cerita dengan pelan-pelan dan direkomendasikan, aku jadi tertarik dan ketagihan. Inilah bacaan anak remaja SMP loh. Dan berlanjut membaca buku yang bertema serius seperti buku motivasi untuk remaja. Namun bagiku buku cerita teenlit juara bagi remaja seumuranku.
Akhirnya aku ketagihan membaca buku yang full isinya kata-kata tanpa gambar, berlanjut ke buku yang bertemakan serius seperti buku agama. Isinya serius dan tanpa gambar hanya bikin ngantuk saja pikirku kala itu. Tapi ya karena untuk belajar apa boleh buat, ini pasti akan menjadi kebiasaan baru. Dan semua itu bertahap mulai dari buku yang tipis sampai buku 300-an halaman kubaca habis. Nikmatnya dekat buku, aktivitasku yang tak bisa diganggu gugat.
Kebiasaanku masih sama saat SD selalu minta ke toko buku untuk dibelikan buku baru. Melihat-lihat koleksi di rak lalu baca sinopsis di belakang buku dan merayu agar dibelikan. Sampai akupun menabung demi dapat membeli buku yang kuinginkan dengan uang sendiri. Hasil THR dari sanak saudara juga kubelikan buku dan majalah. Lanjut ke masa SMA yang sudah jarang membaca buku atau majalah, temanku adalah handphone, rasanya malas untuk membukanya kalau bukan untuk belajar. Apalagi soal resensi buku aku sudah malas duluan. Namun aku masih excited membeli buku baru, dibacanya nanti kapan-kapan.
Jadi mahasiswa ga jauh-jauh dari buku kalo kata dosen, apalagi anak sastra selalu berteman dengan kamus. Kamusku berat, bawa kamus kecil saja sudah malas. Dosen rajin sekali merekomendasikan buku rujukan tapi jarang yang memilikinya. Terkadang sudah dimiliki tapi tak dibaca, dibaca hanya saat mau ujian. Bukunya yang tidak menarik tapi disitulah yang dibahas di perkuliahan. Sudah dibaca masih belum paham juga, biasanya dikemas dengan bahasa yang baku. Tibalah saat skripsi, mencari sumber bacaan dari manapun. Mau tidak mau membaca dan mencernanya, apalagi cari jurnal dan skripsi orang lain yang bertemakan sama. Dari situlah aku rajin membaca, apalagi buku sumber teori kubeli sendiri. Dan aku berlabel anak sastra, identik dengan literasi.
Sampai akhirnya aku lulus, aku melamar kerja magang di kampusku. Aku diterima menjadi karyawan magang di perpustakaan. Ga jauh-jauh ternyata dengan 'kandangku' (literatur). Dari sanalah aku mengenal banyak tentang buku. Bertambah dekatlah aku dengan buku, seakan aku kecanduan. Apalagi aku punya teman kerja kutubuku dan ambisius tentang literasi. Dia gemar mengikuti reading challenge di sebuah situs web. Aku masih kalah membaca darinya, akupun membaca buku kalau sempat dan itupun di akhir pekan.
Sampai suatu ketika aku menjadi guru perintis literasi se-Jawa Barat, otomatis aku harus menunjukkan kebiasaan membaca ke anak didikku (soalnya aku pernah jadi guru). Dari situ aku jadi rajin membeli buku lagi, hampir setiap bulan. Apalagi kalo ada bazzar buku, aku excited banget dan ga mau ketinggalan. Dan saat itu aku bekerja menjadi staff perpustakaan yang harus berdekatan dengan buku-buku. Itu semua menjadi motivasi sekaligus cita-cita suatu saat nanti aku punya rumah baca, yang dekat buku bukan aku saja tapi juga mereka yang membutuhkan :)
Comments
Post a Comment